Regulasi Konvergensi Media yang Melindungi Publik
Regulasi Konvergensi Media yang Melindungi Publik
Setiap undang-undang harus mengedepankan hak publik. Tidak seperti UU Kebebasan Informasi Publik yang meletakkan hak publik di akhir, yaitu pasal 52. Hak publik pun harus diutamakan dalam pembuatan undang-undang tentang konvergensi media. Hak publik tersebut antara lain, hak akses, hak untuk mendapatkan siaran yang memerdekakan, dan hak mengadu.
"Dalam setiap mengkritisi undang-undang, saya selalu mengedepankan hak publik, " sampai Paulus Widianto dari Perkumpulan Media Lintas Komunitas. Mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran ini hadir sebagai pembicara bersama Bambang Semedhi dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawija (FISIP UB) pada Seminar Publik "Regulasi Konvergensi Media dan Hak Publik" di gedung perkuliahan FISIP lantai 7.
MediaLink yang diwakili Paulus memandang perlu ada jaminan perlindungan hak publik dalam pengaturan konvergensi media. Apalagi menurut sejumlah analis, RUU Konvergensi media yang dibuat oleh pemerintah dinilai lebih condong pada kepentingan bisnis disbanding publik. Sementara menurut MediaLink yang melakukan diskusi di beberapa kota seperti Jogjakarta dan Jakarta perlu adanya keseimbangan antara perkembangan teknologi, perilaku ekonomi, dan perlindungan hak publik.
Selain itu, Seminar kerjasama FISIP, Internews, dan MediaLink ini salah satunya mengangkat isu kedudukan UU Konvergensi Media. Bagaimana mendudukkan perundangan sebelumnya, seperti, UU Telekomunikasi, UU Penyiaran, UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Pers. "Bahkan muncul wacana akan ada UU Multimedia, " tambah Ketua Masyarakat Informasi dan Komunikasi ini.
Bagaimanapun pada Kertas Posisi MediaLink disampaikan, regulasi yang ada tidak cukup mengatur fenomena konvergensi media. Karena tiap UU memiliki objek yang berbeda-beda. Pada era konvergensi media, film dapat ditayangkan melalui saluran internet. Fenomena ini bukan sekedar menyangkut perfilman, melainkan sektor telekomunikasi atau transaksi elektronik.
Permasalahan selanjutnya yang muncul adalah ihwal badan regulator. Saat ini untuk penyiaran terdapat Komisi Penyiaran Indonesia, pers digawangi Dewan Pers dan bidang telekomunikasi oleh Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia. Untuk itu ada beberapa opsi yang diajukan, yaitu, regulator tunggal seperti Inggris dan Amerika. Atau regulator menyatu namun dengan regulasi yang berbeda seperti Australia.
Paulus juga mengingatkan karakter undang-undang ini. Apakah akan menganut self-regulationatau state-regulation. Seperti UU Pers yang cenderung self-regulation, sehingga memebrikan kebebasan pada lembaga pers untuk mengatur dirinya sendiri. Berbeda dengan UU Penyiaran yang mengatur frekuensi sehingga karakternya condong state-regulation. "Saya menyarankan UU Konvergensi menjadi co-regulation, gabungan keduanya (self dan state regulation), " tambahnya.
Bambang Semedhi pun setuju dengan gabungan ini. Menurutnya, media tidak seharusnya dikontrol penuh oleh pemerintah dan harus memiliki regulasi lembaga yang kuat. Ia mencontohkan film Korea yang diimpor ke luar negeri telah memiliki karakter tak tertulis di perundangan yaitu harus memiliki nilai lokal.
Diposting pada : Minggu, 02 Desember 12 - 21:38 WIB
Dalam Kategori : KONVERGENSI MEDIA
Dibaca sebanyak : 1669 Kali
Tidak ada komentar pada blog ini...
Anda harus Login terlebih dahulu untuk mengirim komentar
Facebook Feedback